Tahun 2020 merupakan satu tahun yang paling paradoks di era millenial. Inilah tahun di mana perkembangan ekonomi, teknologi, politik, dan sistem masyarakat sepertinya mencapai puncaknya. Namun, tiba-tiba saja anjlok, porak-poranda.
Seperti
kata pepatah Melayu yang mengingatkan, "Mujur tak dapat Diraih, Malang
Sekejap mata." Dalam tempo tiga bulan saja, perekonomian dunia amburadul
dihantam Wabah Corona. Padahal dalam seratus tahun terakhir, kita melihat
perkembangan dan pencapaian umat manusia yang hampir tak terhitung banyaknya –
modernisasi sektor perbankan dan keuangan, peningkatan popularitas produksi
massal, sampai pada tersedianya maskapai komersial dan penemuan internet yang
mungkin tidak terbayangkan oleh generasi sebelumnya.
Perkembangan
dan pencapaian ini membuat ekonomi dunia bertumbuh sangat pesat. Karena itulah,
Prahara Virus Corona atau Covid-19 yang berasal dari Wuhan, Cina ini, disebut
sebagai Badai yang Sempurna (perpect storm) menghantam sektor
perekonomian dunia. Hal itu dikarenakan pandemi ini langsung menyerang segala
sektor ekonomi dalam waktu singkat.
Bahkan,
Amerika Serikat yang digadang-gadang sebagai negara super power pun tidak mampu
mengatasi krisis Covid-19. Sehingga negara Kapitalis itu terjungkal ke jurang resesi
ekonomi bersama sekutunya di Eropa. Selanjutnya menyusul 44 negara lainnya,
termasuk Indonesia terperangkap dalam kemelut ekonomi.
Maka,
Krisis Ekonomi Global 2020 pun menerjang dunia. Hampir semua negara
mengalami penurunan ekonomi cukup dalam. Krisis ekonomi 2020 ini jauh lebih
buruk dari krisis finansial global 2007/2008. IMF pun mengeluarkan ramalan
ngeri soal krisis ekonomi. IMF memperkirakan ekonomi global akan tumbuh -4,9%,
lebih rendah 1,9 poin dibanding outlook IMF pada April 2020, yakni -3%. Ekonomi
global disebut akan menderita krisis keuangan terburuk sejak Great Depression
tahun 1930-han.
Hal
tersebut di atas, menunjukkan betapa pun hebat dan kuat sistem ekonomi dan
keuangan dunia yang didominasi oleh sistem kapitalis dan sosialis, nampaknya
tetap dapat tergoyahkan. Investor yang seharusnya puas dengan keuntungan
investasi yang normal menjadi sulit dipuaskan, bankir yang seharusnya
memprioritaskan kepentingan nasabah menjadi serakah dan egois, lembaga penilai
kredit yang seharusnya memberikan penilaian yang dapat dipercaya telah
berkompromi, dan pemerintah yang seharusnya menerapkan kebijakan-kebijakan
ekonomi untuk masyarakat luas kehilangan arah dan sibuk membangun infrastruktur
dan jalan tol.
Hasilnya, hari ini kita melihat ratusan ribu bahkan jutaan manusia kehilangan pekerjaan, kehidupan yang layak, kesempatan memperoleh pendidikan, dana pensiun, bahkan banyak lagi kerugian non-materiil yang mungkin lebih penting. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah pengangguran periode Agustus 2020 mengalami peningkatan sebanyak 2,67 juta orang. Dengan demikian, jumlah angkatan kerja di Indonesia yang menganggur menjadi sebesar 9,77 juta orang.
Karena
itulah, tantangan terbesar bagi orang Beriman dan Berakal di tengah Kemelut
Ekonomi dan Keuangan ini adalah, "Bagaimana Memahami dan Menyikapi
Resesi Ekonomi dengan Perspektif Keimanan?"
Krisis
Keuangan Global 2020 dan Resesi Ekonomi yang melanda berbagai negara kapitalis
dan sosialis
tersebut, bila ditelisik dengan Kacamata Iman, maka semua
krisis yang kelihatan itu hanya merupakan satu puncak dari gunung es, yang di
bawahnya terdapat masalah yang lebih besar dan mendasar. Krisis spiritual,
keserakahan, cinta akan uang, egoisme, kepalsuan, hanyalah buah-buah yang
kelihatan dari akar yang tidak kelihatan tetapi jauh lebih besar: kefasikan dan
dosa.
Berulang
kali Al-Qur'an memperingatkan manusia untuk takut pada Allah dan menjauhi
kejahatan, “Dan bila dikatakan
kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka
menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah,
sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka
tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).
Krisis Keuangan dalam Perspektif
Keimanan
Sebagai
orang beriman tentu saja tidak membuat kita sebagai Muslim kebal terhadap efek
krisis keuangan global. Tetapi pengenalan akan Allah (Ma'rifatullah) yang berdaulat atas seluruh alam semesta dan sejarah
umat manusia seharusnya menguatkan kita dalam menghadapi dampak resesi ekonomi.
Seiring dengan itu, Kekuatan Iman akan mendorong kita untuk tafakkur, refleksi diri, memikirkan apa
yang ingin Allah ajarkan kepada kita dan bagaimana perspektif kita
menghadapi krisis yang terjadi ini?
Dalam
tafakkur ini, setidaknya ada tiga hal yang bisa kita refleksikan
dari pandemi Covid-19 yang menyebabkan terjadinya krisis keuangan global dan
resesi ekonomi di Indonesia, yang terjadi saat ini :
1. Belajar menempatkan pengharapan
kita hanya kepada Allah, bukan pada materi yang sementara.
Sebagaiman
sudah kita singgung pada awal tulisan di atas, bahwa dalam konteks era yang
semakin modern, manusia mulai kehilangan makna hidup. Saat semua hal diukur
oleh kesenangan material, manusia mulai mencari (looking for) bagaimana menemukan nilai-nilai kehidupan (life values). Fenomena ini terjadi jauh
sebelum Covid-19.
Semoga
pandemi virus Corona bisa menjadi pemicu lebih kuat naiknya (increasing) spiritualitas manusia
modern. Karena itulah, momentum ini harus dimanfaatkan
untuk muhasabah, evaluasi, dan introspeksi diri, memperbaiki diri, banyak beristighfar dan bertobat kepada Allah.
Kita
sebagai orang Beriman dan Berakal sering kali setuju secara kognitif bahwa
dunia dan segala keinginannya akan lenyap dan hanya orang yang melakukan
kehendak Allah yang tetap selama-lamanya. Tetapi sebagai manusia yang bersalut
daging dan darah, kita juga sering secara tidak sadar dan terselubung menaruh
pengharapan dan sekuritas kita pada apa yang kelihatan seperti karier,
penghasilan, kekayaan, gelar, atau hal-hal lain yang membuat kita merasa
signifikan.
Maka, marilah di tengah ancaman Pandemi Covid-19 dan jepitan Resesi Ekonomi ini, kita bertobat dan kembali ke Jati Diri kita yang sejati sebagai hamba-Nya yang menempatkan pengharapan kita hanya kepada Allah bukan pada materi yang sementara.
2. Dunia ini memerlukan Khalifah-Nya
yang Adil dan Bijaksana, karena itulah kita harus menyadari mengapa Allah
menempatkan kita di Bumi Nusantara ini.
Allah
memberikan dua mandat utama kepada umat manusia, yaitu mandat sebagai hamba-Nya
dan mandat khalifah-Nya di muka bumi. Sebagai hamba-Nya, manusia harus
mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Sebagai Khalifah-Nya, manusia ditugaskan
memakmurkan bumi dan membangun peradaban yang adhiluhung di atasnya.
Manusia
adalah makhluk Allah yang paling sempurna, berbagai ayat dalam al-Qur’an
menjelaskan tentang kesempurnaan penciptaan manusia tersebut, kesempurnaan
penciptaan manusia itu kemudian semakin “disempurnakan” oleh Allah dengan
mengangkat manusia sebagai khalifah di muka bumi yang mengatur
alam dan ekosistem ilahiyah yang rahmatan lil alamin, menaburkan potensi
keselarasan, kemanfaatan, musyawarah dan kasih sayang ke penjuru alam serta
memberdayakan seluruh Ciptaan-Nya agar bermakna.
Manusia
diberi Al-Qur'an sebagai pedoman dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba
dan sekaligus Khalifah-Nya. Menerima Al-Qur'an memampukan seorang Muslim untuk
meninggikan Allah dalam melaksanakan mandat-Nya di bidang mereka masing-masing.
Seiring dengan itu, pengungkapan rasa syukur melalui mandat sebagai
Khalifah-Nya menjadi satu alat dan pintu masuk bagi manusia untuk memperkenalkan
Al-Qur'an kepada dunia.
Di tengah kerusakan moral dan etika yang sering kali terlihat samar-samar, kehadiran etika dan moralitas Islam diharapkan menjadi cahaya yang dapat memberikan arah dan garam yang dapat mencegah kerusakan. Keimanan pada Allah Ta'ala adalah satu-satunya iman yang dapat menunjukkan etika dan moralitas yang sejati.
3. Lebih peka untuk meningkatkan
solidaritas sosial, saling berbagi dan menanggung beban, terutama dengan
saudara seiman dan setanah air.
Kenyamanan
dan kelancaran hidup sering kali mengurangi kesadaran dan kepekaan kita akan
kesulitan yang dialami oleh orang lain. Mungkin ada orang-orang yang Allah
tempatkan di sekeliling kita yang membutuhkan uluran tangan kita tetapi sering
kali kita kurang peka karena semua terlihat lancar dan baik secara fenomena.
Maka, terkadang Allah menggunakan penderitaan dan kesulitan untuk membuat kita
lebih bisa berkasihsayang dan bersimpati pada orang lain.
Berbagi
dalam masa krisis bukanlah sesuatu yang mudah karena terkadang kita sendiri
tidak kebal akan akibat krisis tersebut, tetapi Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW
menegaskan bahwa apa yang kita lakukan untuk saudara-saudara kita yang
memerlukan, kita juga melakukannya untuk Allah. Perlu kita sadari bahwa membantu
orang lain itu, sesungguhnya hal tersebut adalah menolong diri kita sendiri.
"Siapa yang melapangkan satu
kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu
kesusahan di hari Kiamat. Siapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka
Allah memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.
Siapa menutupi (aib) seorang Muslim,
maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allah senantiasa
menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR Muslim)
Maka,
jangan ragu jika saat ini bisa membantu dan meringankan masalah serta kesulitan
orang lain. Karena semua itu akan ada imbas positifnya untuk diri kita sendiri.
Tanpa sadar kita justru melakukan hal yang menolong diri sendiri. apabila suatu
saat kita mendapatkan masalah, lalu kita jalani dengan ikhlas dan tawakal,
semua akan terbukti ada banyak hal menjadi jalan pertolongan bagi kita dalam
menyelesaikan masalah dan kesulitan tersebut.
Kiranya
Kasih Sayang Allah mendorong kita untuk terus saling mengasihi sehingga dunia
mengenal bahwa kita adalah hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang. Semoga
setiap krisis yang kita hadapi ini, dijadikan Allah sebagai alat untuk menambah
kekuatan Iman dan Taqwa kita Kepada-Nya serta meningkatkan Kualitas dan
Kuantitas Solidaritas Sosial kita lebih baik lagi. Aamiin Yaa Rabbal 'Aalamin!
(az).
Posting Komentar