Urgensi Spiritualitas di tengah Carut Marut Kehidupan Modern

Guru Mursyid kita, Allahyarham Syaikh Inyiak Cubadak, sekitar 39 tahun lalu mengingatkan bahwa akan datang suatu masa, "Adat tinggal di Pepatah, Syara' tinggal di Suratan. Nah, ketika itulah masyarakat mengalami krisis Budaya dan Spiritual."

Pasalnya, menurut Syaikh Inyiak Cubadak, pada saat adat dan budaya hanya ada dalam upacara dan kegiatan seremonial tanpa aktualitas serta syariat pun dilaksanakan sebatas rukun dan syarat fotmalitas tanpa spiritualitas, ketika itulah masyarakat mengalami Krisis Budaya dan Kegersangan Spiritual.

Realita kehidupan yang dihadapi Umat Islam Indonesia saat ini sedang mengalami dilema, bagai makan buah simalakama. Hidup di tengah arus globalisasi dan modernisasi di satu sisi ada positifnya, namun di sisi lain juga banyak mudharatnya. Manusia modern memiliki cara berfikir rasional, pengembangan ilmu yang semakin dinamis, sikap hidup pun cenderung dinamis dan futuristik.
Namun, di samping hal yang menggembirakan tersebut, kecenderungan kehidupan kontemporer itu sekaligus juga menyeret manusia menjauh dari Allah, terjadinya kegersangan spirutal, kecenderungan hidup yang hedonis dan pragmatis, persaingan yang mengacu pada transpersonal, terjadinya ketidakseimbangan hidup yang menghilangkan esensi kemanusiaan.

Semakin hari semakin terasa bahwa adat dan budaya hanya sebatas seremonial, religi pun jauh dari spiritualitas. Saat ini, agama cenderung larut dalam formalisme, diekspresikan dalam kebisingan perdebatan halal-haram, pahala-dosa, surga-neraka. Jauh dari sunyi yang kudus, kebatinan mikrokosmos melebarkan diri dalam kebatinan makrokosmos dalam menyelami kedalaman spritualitas. Entah Sadar atau tidak, pada saat mendewakan Ilmu dan Teknologi, maka mereka pun menjauh dari spiritualitas.

Jadi, apa yang diprediksi oleh Syaikh Inyiak Cubadak 39 tahun lalu itu, makin hari makin nyata terjadi saat ini. Maraknya aksi kekerasan, korupsi, terungkapnya peredaran narkoba, praktek-praktek ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang tersaji di hadapan kita, baik secara langsung maupun lewat berbagi media. Berita-berita hoax, ujaran kebencian (hate speech) bernuansa SARA, radikalisme dan kekerasan verbal maupun visual di internet memenuhi ruang media sosial dan online. Fenomena tersebut bisa kita sebut sebagai akibat “krisis budaya”, yang merusak pribadi dan tatanan hidup bersama. 

Meskipun ada berbagai alasan ekonomis, politis, sosial dan sebagainya yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dan praktek-praktek ketidakadilan itu, namun sejatinya ada alasan yang lebih mendalam lagi. Rupanya gejala kekerasan dan segala praktek ketidakadilan itu merupakan gejala “sakit kronis” yang diidap masyarakat kita, yakni "kekeringan spiritualitas." Kekeringan spiritualitas itu bahkan bisa menjadi bencana yang mengancam masyarakat kita bila tidak segera disadari dan diatasi.

Spiritualitas sebagai Solusi Problema Kehidupan
Di tengah dunia yang makin riuh dengan segala carut marut era globalisasi ini, Majelis Dakwah Al-Hikmah mengajak orang untuk kembali mencari keheningan dalam diri dan membawa nilai-nilai yang lebih bermakna.

Secara alamiah ruh manusia itu datang dari Allah. Dalam surat Shaad disebutkan, "Maka apabila telah Ku sempurnakan kejadiannya dan Ku tiupkan kepadanya ruh-Ku."(QS: 38:72). Ruh yang ditiupkan itu sebagai daya jiwa manusia ketika kelak berada di dunia. Karena itulah, jika manusia melupakan-Nya maka akan terjadi adanya ketidak seimbangan dalam diri manusia tersebut dan juga ketidak seimbangan dengan jagat raya dan penciptanya.

Dapat diartikan bahwa manusia membutuhkan pengetahuan akan spiritualitas mereka terhadap Allah untuk memberikan adanya keseimbangan di dalam dirinya dengan penciptanya. Memiliki pengetahuan akan spiritualitas dan melaksanakannya dalam kehidupan akan memunculkan sikap baik kepada dirinya sendiri maupun terhadap orang lain secara fisik maupun non-fisik.

Spiritualitas (yang berasal dari kata dasar “spirit”= ruah, roh) adalah sebuah pengalaman akan kehadiran Ruh (Energy Ilahiyah) yang menjadi daya dan menggerakan seluruh diri kita. Spiritualitas menjadi sebuah gaya hidup yang digerakkan Roh Allah. Maka seluruh cara mengada kita akan dijiwai oleh nilai-nilai atau keutamaan keilahian yang ditanamkan Allah di dalam diri kita. Seseorang yang memiliki spiritualitas mendalam, gaya hidupnya pasti digerakkan dan dijiwai oleh nilai-nilai tersebut. Dia peka dan mudah tergerak untuk mewujudkan nilai-nilai kasih, damai, kejujuran, keadilan dan penghargaan  terhadap martabat manusia dan keutuhan ciptaan.

Spiritualitas tidak bisa dipisahkan dari religiusitas yang merupakan pengalaman keterarahan, keterikatan dan relasi iman dengan Allah. Spiritualitas dan religiusitas menjadi inti dari Metode Dakwah Al-Hikmah. Yang inti adalah membentuk agama dengan keempat unsurnya: rumusan pengakuan iman (syahadat), tata peribadatan, aturan moral, dan struktur komunitas. Keempat unsur agama tersebut merupakan ungkapan dan perwujudan konkrit dari pengalaman spritualitas dan religiusitas.

Untuk itulah, Kita perlu melihat secara jernih ke dalam lubuk hati dan cara berada kita selama ini. Sejatinya dalam diri setiap orang sudah tertanam nilai-nilai keilahian (Nuril Hayat) dari Sang Pencipta, yakni kasih sayang, suka damai, adil, ketakwaan, kejujuran, persaudaraan,  saling menghargai, peduli pada alam dan lain-lain. Itulah nilai-nilai Ilahiyah yang mengangkat kita sebagai manusia bermartabat dan berakhlak moral tinggi. (Aby Zamri).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama