Agama, Spiritualitas, dan Gerakan Perubahan Sosial


MAJELISDAKWAHALHIKMAH.COM, JAKARTA.— Dengan melihat sejarah pertumbuhan dan perkembangan Majaelis Dakwah Al-Hikmah sejak kelahirannya, memperhatikan faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri Majelis Dakwah Al-Hikmah. 


Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan Majelis Dakwah Al-Hikmah itu adalah sebagai Gerakan Perubahan Sosial. Gerakan sosial dalam perspektif Majelis Dakwah Al-Hikmah identik dengan perjuangan kaum tertindas (mustadha’afin), buruh, petani, nelayan dan masyarakat marjinal untuk melakukan transformasi sosial yang lebih egaliter dan berkeadilan. Kesadaran yang mendorong gerakan sosial ini adalah kondisi material yang dialami kaum buruh, tani dan nelayan yang disebabkan oleh adanya eksploitasi dari para pemilik modal (kapitalis). 


Majelis Dakwah Al-Hikmah melalui Metode Dakwah Problem Solving ingin memberikan pengaruh, sekaligus pemicu terhadap munculnya gerakan sosial. Karena itulah Majelis Dakwah Al-Hikmah sekaligus menepis pandanga,  jika agama dieksklusikan dari proses gerakan sosial, sebagaimana Marxisme dan Sekulerisme yang berpandangan sangat negatif terhadap agama. Pernyataan Marx  yang sangat terkenal adalah “the religion is the opiate of the people” adalah yang sangat membuat para ‘Ulama di Majelis Dakwah Al-Hikmah.


Majelis Dakwah Al-Hikmah ingin mengungkap kenyataan agama dalam kehidupan sosial tidak hanya bisa memberikan hiburan sekedar meringankan penderitaan yang dialami umat manusia. Namun lebih dari itu, ajaran Islam berperan sebagai Gerakan Sosial dalam Melawan penindasan dari mereka yang berkuasa dan memiliki hak-hak  istimewa. Karena itulah Majelis Dakwah Al-Hikmah dalam orde sosial sangat cenderung ke arah progresif


Majelis Dakwah Al-Hikmah berupaya menampilkan peran agama yang sesungguhnya, di mana agama di beberapa peristiwa berfungsi sebagai katalisator penting dalam usaha untuk melakukan perubahan. Dengan pernyataan ini, para ‘Ulama dan Da’i yang berhimpun dalam Majelis Dakwah Al-Hikmah ingin menunjukkan bahwa agama juga bisa tampil sebagai fenomena gerakan seperti yang diperlihatkan oleh gerakan revitalisasi dan milenarian. Gerakan sosio-religius seperti ini, menurut Ketua Majelis Syura Majelis Dakwah Al-Hikmah, Kyai Ageng Khalifatullah Malikaz Zaman, acapkali muncul jika dalam kehidupan sosial terjadi ketegangan dan krisis sosial yang ekstrim.


Hubungan Islam, Spiritualitas, Perubahan Sosial


Hafidz Arfandi dalam tulisannya “Spiritualitas untuk Perubahan Sosial “, menyebutkan Dalam ruang dinamika Islam, Muhammad SAW memiliki dua peranan vital, pertama, Muhammad sebagai jawaban atas problem zaman, dan  kedua, Muhammad adalah pilihan jawaban atas problem hidup manusia. Artinya, sejarah hidup Muhammad adalah monumen besar bagi kebudayaan umat manusia, sebuah pilot project bagi kebudayaan hidup manusia sepanjang zaman. 


Kehadiran Muhammad SAW dengan pancaran cahaya Al Qur’an menganjarkan akan pentingnya komunikasi spiritual antara manusia dengan bahasa Tuhan, melalui Al Qur’an. Maka, pembiasaan untuk menghidupkan Al Qur’an sebagai landasan sikap hidup menjadi sebuah wujud bagi trasformasi kebudayaan Muhammad di setiap zaman. Interpretasi akan Al Qur’an bisa dikontekstualkan dengan kesadaran rasional pada zaman sekarang.


Hafidz Arfandi, Perubahan Sosial lahir dari sebuah spirit yang mengarahkannya pada satu titik tertentu. Pilihannya berada pada dua kutub yang saling bertolak belakang, yaitu antara spirit pasar dan spirit masjid. Sebagaimana kata Rasul, “Sebaik-baiknya tempat adalah masjid dan seburuk-buruknya tempat adalah pasar.” Karena itulah proses pemahaman dalam pembangunan spiritualitas menjadi penting untuk memastikan modus-modus perubahan sosial berada pada koridor yang benar.


Sering kali dalam memahami spiritualitas disalah-artikan sekedar mengasingkan diri dan meninggalkan dinamika proses perubahan. Metode sufisme dalam membangkitkan energi spiritualnya ‘jalan salik’ banyak dengan melakukan pengasingan diri ke berbagai tempat kesunyian. Padahal pemahaman akan pembangunan spiritualitas sebenarnya bukanlah pada wilayah pengasingan dirinya. Melainkan memberikan ruang reflektif dan kontemplatif untuk menumbuhkan kesadaran yang bebas. Artinya, dalam pengasingan tersebut kita mencoba untuk menolak kesadaran parsial pada dinamika proses semata, dan memberikan ruang untuk mengaitkan segala realita dengan kerangka besar kehendak Allah SWT.


Proses pembinaan spiritualitas ini bisa diwujudkan dengan melakukan ritual-ritual tertentu yang mendekatkan diri dengan tuhan, misalnya; puasa, shalat malam, dzikir, dan lain sebagainya. Ritual ini harus memiliki ruh dan penghayatan yang dalam sebagai sebuah proses reflektif dan kontemplatif untuk berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.


Modus-modus spiritual merupakan sebuah ruang imateril yang membangun konsepsi perubahan sosial. Dalam praksisnya, wilayah imateril ini dimanifestasikan dalam ruang kebudayaan menjadi sebuah materi, atau simbol-simbol. Misalnya, seseorang yang dengan keyakinanya sebagai “muslimah,” dia menerima perintah Allah SWT untuk menutup aurat. Maka, modus spiritualnya adalah keyakinan untuk menutup aurat sebagai bentuk kepasrahan akan perintah Tuhan. Pada praksisnya diwujudkan dengan mengenakan jilbab.


Spiritual Leadeship Sebagai Elan Vital Gerakan Perubahan


Pada dasarnya, perubahan sosial merupakan respon dari masyarakat baik disadari maupun tidak sebagai upaya menyesuaikan diri (adaptasi) dengan kondisi yang terjadi di sekeliling. Seperti yang dikemukakan Antropolog J.P Gillin dan J.L Gillin (1954), mereka berpendapat bahwa perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.


Namun demikian, dalam upaya mewujudkan terjadinya perubahan perilaku menuju perubahan sosial, secara sosiologis dibutuhkan peran pemimpin yang memiliki power and influence terhadap anggota masyarakatnya. Pemimpin tersebut bisa merupakan tokoh formal maupun informal. Sejalan dengan hal tersebut, Marmawi Rais (2012) mengatakan bahwa Proses internalisasi lazim lebih cepat terwujud melalui keterlibatan peran-peran model (role-models). 


Individu mendapatkan seseorang yang dapat dihormati dan dijadikan panutan, sehingga dia dapat menerima serangkaian norma yang ditampilkan melalui keteladanan. Proses ini lazim dinamai sebagai identifikasi(identification), baik dalam psikologi maupun sosiologi. Sikap dan perilaku ini terwujud melalui pembelajaran  atau asimiliasi  yang  subsadar  (subconscious) dan nir-sadar (unconscious).


Menurut Prof. Christantius Dwiatmadja, S.E., M.E., Ph.D, Untuk mewujudkan karakter pemimpin yang kompeten dan kredibel, maka seseorang yang ditunjuk atau dipilih menjadi pemimpin harus memiliki fondasi yang baik, utamanya fondasi nilai spiritual. Seorang pemimpin dengan nilai spiritual yang baik menganggap jabatan sebagai amanah.


Menurutnya, yang pertama-tama harus dilakukan seorang pemimpin adalah melayani. Pemimpin yang melayani tidak mengejar citra, tetapi konsisten dan terus-menerus memicu dan memacu anggotanya dalam meningkatkan kompetensi dan potensi anggotanya. Selayaknya pelayan, pemimpin selalu mengutamakan yang dilayani agar terpenuhi kebutuhan anggotanya. Niat atau spirit pemimpin pelayan seperti itu bertentangan dengan nafsu akan kekuasaan yang menjadikan status pemimpin sebagai peluang untuk meraup harta melimpah.


Konkretnya, pemimpin tersebut memahami bahwa setiap warganya memiliki kemampuan, bakat, dan kekuatan yang khas sehingga ia mengambil peran untuk menumbuh-kembangkan rasa percaya diri diantara anggotanya yang masing-masing memiliki potensi dan kemampuan yang khas. Pemimpin itu memfasilitasi, memberi kesempatan demi memaksimalkan potensi dan kemampuan anggotanya.


Keterlibatan unsur spiritual dalam kepemimpinan menjadi fokus dalam model kepemimpinan pelayan. Artinya, semakin pemimpin itu menunjukkan keberimanannya atau spiritualitasnya, semakin jelas pula kepemimpinannya yang melayani (altruis), bukan menguasai (egois).


Kepemimpinan bukan sekadar soal popularitas, kekuasaan, keahlian melakukan pertunjukan, dan kebijaksanaan dalam perencanaan jangka panjang. Dalam bentuk yang paling sederhana, kepemimpinan adalah kesediaan untuk menyelesaikan sesuatu bersama orang lain dan membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama. (az).


Post a Comment

Lebih baru Lebih lama