Jakarta, JENIUSNET.- Memprihatinkan bila kita cermati terjadinya ANOMALI konsumsi di bulan Puasa. Sampah di Indonesia Meningkat di Bulan Ramadhan Akibat Konsumsi Berlebihan. Karena itulah, saat umat Muslim di seluruh dunia bergembira menyambut datangnya bulan Ramadan, seorang imam di Australia, Imam Bekim Hasani dari Masjid Albania di Melbourne, mengatakan ada kekhawatiran jika makna bulan puasa bergeser dari bulan puasa atau FASTING, menjadi FEASTING atau bulan berpesta.
Dalam urusan kebutuhan konsumsi sehari-hari misalnya, puasa yang semestinya mengurangi kuantitas konsumsi, malah menyajikan fakta yang sebaliknya. Secara umum, tingkat konsumsi masyarakat muslim di bulan puasa cenderung meningkat dibandingkan bulan-bulan lain di bulan Ramadhan.
Hasil kajian Febriyanto dkk (2019) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi rumah tangga meningkat antara 10-30% hingga 100-150% selama bulan puasa. Komponen penunjang peningkatan itu termasuk anggaran untuk belanja sahur dan berbuka. Mengapa demikian, mungkin perlu kita renungkan bersama.
Meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Ramadhan, padahal aktivitas makan dan minum hanya berlangsung di malam hari sesungguhnya patut dipertanyakan. Waktu yang lebih singkat untuk makan dan minum di malam hari, seolah-olah dimanfaatkan untuk 'balas dendam', mengkompensasi saat-saat lapar dan dahaga di siang hari.
Padahal, salah satu esensi penting dari pelaksanaan Ibadah puasa Ramadhan adalah justru peningkatan kemampuan pengendalian diri. Keberhasilan mengendalikan diri selama berpuasa seharusnyalah tercerminkan oleh konsumsi masyarakat yang melemah atau setidaknya stabil. Konsumsi masyarakat yang meningkat, dengan demikian bisa menjadi indikasi ketidakberhasilan pengendalian diri selama berpuasa.
Menurut Ahmad Munif dalam tulisannya di detiknews berjudul “Anomali Konsumsi di Bulan Suci”, ada Etika Konsumsi dalam Islam yang nampaknya belum dipahami sebagian Umat Islam. Padahal, ada tiga prinsip utama dalam berkonsumsi yang dirumuskan ahli ekonomi Islam. Pertama, konsumsi hendaknya dalam koridor maslahah, bukan utilitas (kepuasan). Kedua, tidak dibenarkan atas konsumsi barang atau jasa secara berlebih. Dan ketiga, konsumsi dilakukan dengan memperhatikan pihak lain yang tidak mampu (Ghofur, 2017: 77). Ketiga prinsip itu saling berkait kelindan. Seorang muslim yang baik hendaknya memperhatikan tiga prinsip itu dalam aktivitas konsumsinya.
Dalam prinsip pertama, seorang muslim harus memegang nilai maslahah setiap menjalankan aktivitas konsumsi. Apa itu maslahah? Maslahah secara umum dipahami sebagai segala sesuatu yang mengandung manfaat bagi manusia (Fauzia dan Riyadi, 2014: 47). Dengan demikian, konsumsi yang maslahah bermakna konsumsi atas segala hal yang menunjang untuk memberikan manfaat bagi manusia.
Dalam konsep maslahah, ia tidak berdiri atas pandangan subjektif seorang muslim semata. Ada batasan-batasan dari sumber utama (Alquran dan hadis) yang tidak bisa diterabas, biasanya terkait halal dan haram, yang halal dibolehkan dan yang haram harus ditinggalkan. Itu yang membedakannya dengan konsep utilitas yang bersumber dari kaca mata subjektif. Apa yang menurut diri bisa menuju kepuasan, itu yang akan dikonsumsi.
Sementara itu prinsip kedua berbicara tentang kebolehan mengkonsumsi yang halal asal tidak berlebih. Nah, apakah muslim yang menyediakan hidangan buka puasa dengan kualitas dan kuantitas yang lebih dari pada hari-hari biasa melanggar prinsip ini? Bisa jadi demikian. Ketika hidangan yang wajar itu sudah cukup bagi seorang muslim, mestinya hal tersebut tetap berlaku untuk konsumsi dalam rangka buka puasa selama bulan Ramadhan. Kata khatib saat jumatan, berbuka tidak disyaratkan harus berupa makanan dan minuman yang lebih mahal dari pada sajian biasanya.
Alangkah mulia ketika bertambahnya anggaran belanja untuk konsumsi di bulan Ramadhan ditujukan dengan memperhatikan prinsip konsumsi yang ketiga, memperhatikan pihak lain yang tidak mampu. Anggaran untuk belanja makanan dan minuman di bulan puasa sengaja dilebihkan bukan untuk memenuhi kebutuhan perut sendiri saja, namun untuk turut menyediakan hidangan berbuka bagi orang-orang yang termasuk kategori kurang mampu. Ketika rumus untuk BERBAGI ini yang dipegang, maka tidak masalah adanya kenaikan anggaran belanja konsumtifnya. (az).
Posting Komentar